Guru dan Les Private: Wajah Ketidakadilan yang Nyata di Sekolah

 

Di balik dinding ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat bertumbuh, seringkali tersembunyi praktik ketidakadilan yang menyakitkan. Salah satunya terjadi dalam dunia penilaian akademik. Sistem yang idealnya mencerminkan usaha dan kemampuan siswa, namun terkadang ternodai oleh relasi dan kepentingan tersembunyi.

Sebuah pengalaman nyata di sebuah SMA negeri di Kepulauan Riau, menunjukkan bagaimana ketimpangan itu berlangsung secara halus namun berdampak besar. Seorang siswa yang aktif, tekun, dan menunjukkan kompetensi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris secara konsisten mendapat nilai yang rendah. Bukan karena kurang memahami materi, melainkan karena tidak mengikuti les privat yang diselenggarakan oleh guru mata pelajaran tersebut. Sebaliknya, siswa-siswa yang mengikuti les privat yang diadakan oleh guru yang sama, justru memperoleh nilai

tinggi, meski performa mereka di kelas terbilang biasa saja.

Situasi semacam ini menimbulkan pertanyaan serius. Sejauh mana objektivitas penilaian dapat dijaga, ketika guru memegang kendali penuh atas nilai sekaligus menjalankan layanan tambahan

yang bersifat komersial terhadap siswanya sendiri. Ketika nilai bergantung pada hubungan transaksional di luar kelas, maka nilai itu bukan lagi cerminan akademik, melainkan simbol

ketimpangan. Dampaknya bukan hanya dirasakan secara akademik, tetapi juga emosional. Ketika siswa menyadari bahwa kerja keras mereka tidak dihargai sebagaimana mestinya, semangat belajar pun memudar. Rasa kecewa perlahan tumbuh menjadi ketidakpercayaan terhadap institusi sekolah itu sendiri. Yang lebih memprihatinkan, praktik semacam ini sering dibiarkan begitu saja, seolah menjadi rahasia umum yang tak lagi dianggap sebagai pelanggaran.

Pada titik inilah urgensi untuk membongkar praktik-praktik tidak adil di dunia pendidikan menjadi

semakin mendesak. Ketidakadilan seperti ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi cermin dari konflik kepentingan yang nyata dan membahayakan. Ketika guru menggabungkan peran pendidik

dan pebisnis tanpa batas etika yang jelas, maka kepercayaan siswa akan runtuh. Pendidikan kehilangan makna sebagai ruang yang memanusiakan dan mulai menjelma menjadi sistem yang bias dan eksklusif.

Diskriminasi dalam pendidikan bukan hanya sekadar kesalahan prosedural. Hal tersebut adalah

luka batin yang bisa menetap dalam ingatan siswa seumur hidup. Ketika ruang kelas berubah menjadi arena kepentingan tersembunyi, maka esensi pendidikan sebagai sarana pembebasan pun mulai sirna. Bukan lagi tempat yang menghidupkan harapan, melainkan ruang yang perlahan memadamkan semangat. Sudah saatnya dunia pendidikan tidak hanya bicara soal kurikulum dan kelulusan, tetapi juga soal keadilan dan kejujuran. Karena pada akhirnya, nilai akademik yang

sejati tidak datang dari angka di rapor, melainkan dari bagaimana siswa merasa dihargai, diperlakukan adil, dan didorong untuk tumbuh bukan dari siapa yang membayar lebih, atau siapa yang lebih dekat dengan pengajar. Jika pendidikan ingin tetap menjadi cahaya di tengah gelapnya tantangan masa depan, maka keadilan harus berdiri paling depan.

Author: Suci Marina Rumapea

Media: Retizen Republika

Komentar

  1. Betul, hal-hal kecil seperti ini memang perlu diperhatikan

    BalasHapus
  2. Essay nya menarik, sangat dekat dengan kehidupan sehari hari

    BalasHapus
  3. Memang sangat memprihatinkan kondisi2 seperti ini. Semoga kelak kita tidak memperlakukan siswa kita seperti ini...
    Tetap semaangat

    BalasHapus
  4. Mantap sekali essay nya, mengangkat isu yang biasa terjadi di lingkup pendidikan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

How AI is Changing the Way Students Think Today

Veo 3: Mengguncang Industri Kreatif dan Menciptakan Peluang Baru di Era AI