Remaja Digital: Antara Kreativitas dan Krisis Indentitas
Di zaman sekarang, hampir setiap remaja memiliki akun media sosial, termasuk saya. Kami tumbuh bersama layar, notifikasi, dan tren-tren viral yang silih berganti. Media sosial memberi ruang yang luas untuk berkarya, menyuarakan pendapat, dan mengekspresikan diri. Namun di balik kemudahan itu, ada tantangan besar yang sering kali tidak terlihat: rasa kehilangan arah, dan kebingungan tentang siapa diri kami sebenarnya. Generasi ini penuh ide dan inovasi, tapi di balik kreativitas itu, banyak yang diam-diam berjuang memahami siapa dirinya.
Saya belum terlibat aktif dalam membuat konten di media sosial, tetapi saya sering melihat teman-teman yang berbagi kontribusi kreatif, foto, dan video dengan antusias. Dari sana, saya mulai memahami bagaimana dunia digital mempengaruhi cara menilai remaja. Tapi lama kelamaan, saya mulai merasa tidak cukup baik hanya karena postingan saya tidak banyak disukai. Saya mulai membandingkan diri dengan teman-teman yang tampak "sempurna" di media sosial—wajah mereka bersih, gaya mereka keren, dan kehidupan mereka terlihat sangat menyenangkan. Saya sempat bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku harus menjadi seperti mereka agar bisa dianggap ada?”.
Di daerah saya tinggal, tepatnya di Natuna, dan beberapa daerah lain di Kepulauan Riau, saya melihat banyak remaja yang mulai terobsesi dengan penampilan dan pengakuan di media sosial. Ada juga yang mulai minder karena tidak punya ponsel bagus untuk mengikuti tren.
Psikolog Jean Twenge dalam bukunya iGen menulis bahwa generasi yang lahir setelah tahun 1995 menunjukkan peningkatan signifikan dalam masalah kepercayaan diri dan depresi, seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial. Ini diperkuat dengan data dari UNICEF Indonesia yang mencatat bahwa karena tekanan sosial di dunia maya, banyak remaja kehilangan identitas mereka dan lebih fokus pada cara mereka ingin dilihat oleh orang lain.
Saya juga melihat banyak teman yang menggunakan platform digital untuk hal-hal positif, seperti Salman, seorang remaja di Natuna yang menciptakan konten pendidikan tentang budaya Melayu dan bahasa lokal di TikTok. Salman tidak hanya kreatif, tetapi juga menunjukkan bahwa identitas lokal di tengah globalisasi digital dapat menjadi kekuatan.
Saya pribadi mencoba menggunakan konten secara lebih selektif saat mengonsumsinya. Saya juga belajar untuk menerima bahwa tidak semuanya harus dibagikan ke publik. Jika ruang remaja didukung oleh peraturan keluarga dan sekolah, saya yakin bahwa media digital bisa menjadi alat untuk pertumbuhan daripada jebakan untuk tenggelam. Dengan kesadaran dan dukungan yang tepat, kami dapat memilih untuk menjadi versi terbaik diri kami, bukan meniru orang lain.
Author: Taranissa Heljuana
Media: Retizen Republika
Good write!
BalasHapus